Selasa, 28 September 2010

Negara Miskin Mau Kaya? Jangan Ikut Pasar Bebas

INILAH.COM, Jakarta - Profesor ekonomi dari Harvard menyarankan Indonesia memacu pertumbuhan ekonominya secara mapan jika ingin menanggulangi masalah kemiskinan. Namun, saran itu tampaknya tidak akan berhasil sepenuhnya, jika tidak gagal sama sekali, untuk mengentaskan 30 juta orang miskin di Indonesia.
Saran Dekan Harvard Kennedy School, Profesor David Ellwood, bahwa pertumbuhan ekonomi yang mapan akan mengurangi kemiskinan tanpaknya bertentangan dengan fakta yang ada. Sejauh ini negara-negara berkembang di selatan sudah melaksanakan saran itu, tidak terkecuali Indonesia, namun jumlah orang miskin tidak berkurang secara signifikan.
Itulah penjelasan kenapa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terpaksa menetapkan program yang populer disebut sebagai MDGs (Millennium Development Goals) atau kurang lebih berarti sasaran pembangunan dalam milenium ini dimana salah satu programnya adalah pengentasan kemisikinan. PBB sendiri akan membuat pertemuan untuk membaha apa saja yang sudah dicapai dari MDGs ini pada 22-23 September di New York.
Ekonomi negara-negara penghasilan rendah tumbuh mapan tapi toh penduduk miskinnya tetap banyak. Apa yang salah?
Ekonom Universitas Cambridge yang pernah menjadi konsultan Bank Dunia, Ha-Joon Chang mengatakakan jika ingin meninggalkan kemiskinan, tak ada jalan lain selain, menentang pasar dan melakukan hal-hal yang lebih sulit yang akan memberikan penghasilan lebih besar.
"Menentang pasar bebas kedengarannya terlalu radikal," kata Ha-Joon Chang dalam bukunya Bad Samartitans. "Tidak ada jalan keluar yang lain."
Ya..kelihatannya memang tidak masuk akal dan bertentangan dengan apa yang para ekonom asing, profesor bule dan petinggi tiga serangkai Bank Dunia, IMF, dan WTO, sarankan kepada negara-negara miskin.
Menurut Ha-Joong setidaknya ada dua penjelasan kenapa harus menghindari pasar bebas untuk bisa mengatasi masalah kemiskinan.
Pertama dan terutama, negara-negara maju yang saat ini menikmati kemakmuran dulunya juga tidak mengikuti pasar bebas. Mereka memproteksi industri bayi mereka hingga benar-benar bisa bersaing di pasar bebas yang mematikan.
Inggris yang menjadi penganjur utama pasar bebas, dulu mensubsidi industri kapasnya dari persaingan dengan perusahaan sejenis dari koloninya, India.
Nah..sekarang negara-negara industri itu seperti menendang tangga yang mereka pakai naik kelas dulu dan membiarkan negara miskin menemupuh jalan lain yang mereka sendiri tak jalani. "Mereka menasihati negara miskin sesuatu yang mereka sendiri tak lakukan," tandas Ha-Joon.
Masih kurang contohnya? Baiklah kita tengok sejarah pembangunan Jepang dan Korea. Kedua negara itu membentengi industri-industrinya puluhan tahun sebelum akhirnya disapih ke pasar bebas. Toyota memerima proteksi selama 30 tahun dan subsidi kredit sebelum akhirnya kompetitif seperti saat ini.
Asisetn profoser sosiologi NTU, Singapura, Dr Sulfikar Amir kepada Inilah.com mengatakan, Indonesia tak bisa mengembangkan isundtrinya yang bisa diapaki untuk meningkatkan kemakmuran karena IMF selalu mendiktekan kehendaknya.
Alasan kedua kenapa menentang pasar perlu dilakukan adalah fakta bahwa manajer bisnis juga melakukan hal yang sama. Nokia, kata Ha-Joon, menyubsidi bisnis elektronikanya selama 17 tahun dari uang yang dihasilkan dari bisnis perkayuannya. Samsung melakukan hal yang sama selama satu dekade.
Kalau kedua perusahaan ini mengikuti saran untuk langsung berkompetisi di pasar bebas, seperti yang diharapkan para penganjur pasar bebas itu, Nokia masih menebang pohon dan Samsung masih berbisnis gula.
Jadi, negara-negara berpenghasilan rendah harus berani menentang arus utama dan mengambil jalan yang sulit dan sedikit berliku untuk bisa meninggalkan kemiskinan yang mematikan.
Bank Dunia dulu menentang Korea mendirikan pabrik baja, tapi lihatlah hasilnya sekarang. Pasar (bebas), cenderung melanggengkan status quo.

Sumber

0 comments:

Posting Komentar