Rabu, 22 September 2010

Bekerja di Perusahaan Jepang

JUST SHARE.....
Diambil dari : http://berbual.com/bisnis-dan-manajemen
Ditulis untuk Majalah Inovasi, PPI Jepang
Saya berdebat kecil dengan Prof. Yukiko Hirakawa dari Hiroshima University di satu sesi Joint Seminar on Technology Transfer yang diselenggarakan di ITB beberapa waktu lalu. Prof. Hirakawa mempresentasikan hasil survey yang dia lakukan terhadap pengusaha/ professional Jepang tentang presepsi mereka terhadap tenaga kerja Indonesia. Dalam presepsi orang Jepang, menurut survey tersebut, tenaga kerja Indonesia tidak punya banyak keunggulan, kecuali bahwa upah mereka murah. Selebihnya, mereka dianggap punya kemampuan analitik yang lemah, etos kerja serta disiplin yang lemah. Untuk memuluskan proses transfer teknologi Prof. Hirakawa menantang dunia industri dan pendidikan Indonesia untuk berbenah.
Pada diskusi itu saya tidak mencoba membantah data yang dia sajikan. Pertama karena saya sendiri juga tidak punya data tentang kualitas tenaga kerja kita. Kedua, bagaimanapun juga data yang disajikan itu adalah presepsi, sehingga masih perlu diuji kebenarannya di lapangan. Yang menarik dari situ justru bagaimana presepsi itu muncul.
Saya ingatkan Prof. Hirakawa bahwa yang terjadi sebenarnya mungkin kurangnya kesepahaman antara ekspatriat Jepang yang ada di Indonesia dengan pekerja lokal. Akibatnya mereka bekerja dalam ruang strereotype masing-masing. Saya melihat diperlukan adanya pihak yang mampu menjembatani komunikasi ini. Prof. Hirakawa mengakui bahwa orang-orang Jepang yang dikirim ke luar negeri pada umumnya memang tidak dipersiapkan untuk keluar dari Jepang. “Waktu mereka kuliah dulu mungkin mereka tidak pernah berfikir akan dikirim bekerja ke luar negeri.” katanya setengah bercanda. Ia juga mengakui bahwa tidak sedikit kesan buruk terhadap ekspatriat Jepang, seperti arogan, cerewet, dan kasar.
Sayangnya, meski setuju dengan pandangan saya, ia tetap bersikukuh bahwa kunci penyelesaiannya tetap ada di pihak Indonesia. Jepang, katanya, akan mencoba memperkecil jurang komunikasi tadi, tapi tidak akan menghabiskan banyak sumber daya untuk itu. Dalam banyak kasus, katanya, Jepang akan memilih negara di mana jurang tadi tidak demikian besar.
Keterbatasan waktu seminar membuat debat kecil kami terhenti. Tapi saya melihat persoalan jembatan komunikasi ini penting bagi perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia, dan tentu saja bagi orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Kebetulan sebagai seorang pimpinan di perusahaan Jepang, salah satu peran saya adalah menjadi jembatan komunikasi tersebut. Mirip dengan hasil survey yang diungkapkan oleh Prof. Hirakawa, dalam berbagai kesempatan saya sering menampung keluhan ekspatriat Jepang tentang ketidakpuasan mereka terhadap pekerja lokal. Sebaliknya, saya juga sering menampung keluhan staf lokal tentang berbagai ketidakpuasan terhadap ekspatriat Jepang.
Perusahaan Jepang yang berinvestasi ke Indonesia beragam skalanya. Ada perusahaan besar yang sistem manajemennya sudah mapan, seperti Toyota, Panasonic, dan sebagainya. Kemapanan manajemen mereka meliputi kesiapan mereka untuk berkiprah di negara-negara di luar Jepang, termasuk persiapan SDM untuk keperluan tersebut. Namun ada juga perusahaan Jepang skala kecil-menengah yang ikut menanamkan modal di Indonesia. Perusahaan ini dikelola dengan manajemen semi-tradisional, cenderung bercorak kekeluargaan. SDM yang dikirim untuk mengelola perusahaan tersebut biasanya SDM pada level menengah-bawah di perusahaan induknya. Kemampuan yang mereka miliki lebih cenderung hanya kemampuan teknis, bukan manajerial.
Pada perusahaan besar dengan sistem manajemen yang sudah mapan, masalah-masalah seperti perbedaan budaya boleh jadi sudah diantisipasi dengan berbagai pendekatan manajemen. Namun perusahaan skala menengah-kecil, dengan berbagai keterbatasannya, cenderung mengabaikan masalah-masalah itu. Bagi mereka yang penting produksi dapat berlangsung. Pengembangan manajemen organisasi, SDM, dan sebagainya digarap seadanya.
Kembali ke data yang disajikan oleh Prof. Hirakawa tadi, saya sebetulnya bisa memahami kalau ada presepsi demikian di kalangan ekspatriat Jepang. Dari sudut pandang orang Jepang yang berdisiplin tinggi pemandangan di Indonesia boleh jadi akan terlihat tidak pada tempatnya. Contoh sederhananya adalah soal membuang sampah. Di perusahaan kadang saya masih menemukan sampah-sampah kecil seperti bungkus permen, dibuang sembarangan. Padahal perusahaan sudah menyediakan tempat sampah di berbagai tempat, dan selalu mengingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya. Pernah suatu ketika saya menemukan karyawan yang meletakkan sampah di samping tempat sampah yang disediakan, bukan langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Sebuah tindakan yang sulit dicerna akal.
Banyak hal, yang bagi orang Jepang merupakan common sense, ternyata sulit untuk dipahami oleh staf lokal. Atau kalau dibalik, banyak hal-hal yang bertentangan dengan common sense yang kita praktikkan dalam kehidupan kita, dan ajaibnya kita tidak merasa terganggu dengan itu. Pola fikir dan peri laku ini terbawa melekat ke tempat kerja. Manajemen sebenarnya adalah kumpulan common sense belaka. Karenanya pola fikir dan peri laku yang bertentangan dengan common sense itu adalah gangguan yang nyata pada sistem manajemen. Ganguan ini menghambat pencapaian tujuan.
Sampai ke titik ini saya sebenarnya sepakat dengan pandangan Prof. Hirakawa tadi. Masalahnya adalah saya melihat orang-orang Jepang itu mau ambil mudahnya saja. Mereka berharap dapat mengumpulkan manusia-manusia qualified, siap pakai, baik dari soft skill maupun hard skill, lalu membangun sistem, dan sistem itu berjalan sesuai harapan. Idealnya memang seperti itu. Namun berinvestasi di dunia ketiga dengan harapan memperoleh SDM selevel negara maju jelas merupakan harapan yang berlebihan. Berinvestasi di negara berkembang seharusnya diiringi dengan kesiapan untuk menyisihkan investasi bagi keperluan pengembangan organisasi dan SDM.
Yang lebih parah, tak jarang saya temukan ekspatriat Jepang yang menjadikan stereotyping sebagai dalih untuk melempar tanggung jawab. Tanpa mau menganalisa pola kepemimpinan dan komunikasi yang diterapkannya dia dengan gampang menimpakan kesalahan pada staf lokal atas ketidaklancaran proses dalam manajemen. Pada saat yang sama, staf lokal juga tidak mau begitu saja disalahkan. Maka lingkaran setan saling lempar tanggung jawab itu terus menerus menjadi duri dalam daging pada sistem manajemen.
Saya memandang perlunya lapisan penyangga dalam manajemen perusahaan Jepang di Indonesia. Lapisan ini diisi oleh orang Indonesia yang mengerti budaya dan system manajemen Jepang. Yang kemudian mampu menerjemahkannya menjadi sesuatu yang bisa dipahami oleh staf lokal. Sebaliknya, lapisan ini pada saat yang sama juga perlu menjelaskan hal-hal yang merupakan karakteristik lokal kepada para ekspatriat Jepang.
Pola inilah yang coba saya terapkan di tempat saya bekerja. Adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan bahwa saya bergabung di perusahaan ini tepat ketika perusahaan sedang mempersiapkan diri untuk beroperasi secara komersial. Karenanya saya bisa turut terlibat merancang sistem manajemennya. Prinsip yang saya anut adalah bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang dianggap sebagai karakter khas budaya perusahaan Jepang tak lebih dari kumpulan common sense. Maka mengadopsi semua itu pada dasarnya bermakna bahwa kita sedang menghidupkan (kembali) common sense kita, bukan sekedar menjadi pengekor budaya asing.
Sejauh ini sistem kecil yang saya bangun berjalan cukup baik. Mudah-mudahan ia bisa berjalan dengan baik pula ketika organisasi perusahaan membesar nanti. Kuncinya, sejauh yang saya sadari, adalah kepercayaan, baik dari pihak pemegang saham, manajemen di perusahaan induk, maupun karyawan yang merupakan bawahan saya.

Terima kasih kepada kang hasan di http://berbual.com

0 comments:

Posting Komentar